BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
“Al-Qur’an adalah Kalamullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui perantaraan malaikat Jibril secara
berangsur-angsur, diawali dengan surat Al-Fatihah, dan diakhiri dengan surat
Al- Nass, membacanya merupakan ibadah”. Namun pada kenyataannya berdasarkan
sejarah sama-sama kita ketahui bahwasanya ayat yang I turun itu adalah Surat
Al-‘Alaq, dan surat yang terakhir turun adalah surat Al- Maidah ayat 3.
Nah dalam pembahasan kali ini penulis
akan mencoba membahas dan menyajikan permasalahan diatas.
Makalah ini penulis beri judul “Munasabah
Al-Qur’an”
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian dan Macam-Macam Munasabah
Al-Qur’an
2.
Tertib Ayat Dan Surat Al-Qur’an
3.
Urgensi Mempelajari Munasabah Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN MUNASABAH
AL-QURAN
Munasabah menurut bahasa atau etimologi
(loghawiyah) berarti kedekatan “si abu munasabah dengan si fulan”
berarti ia mendekati dan menyerupai si fulan. (al-qattan, 1994: 137) sedangkan
menurut istilah ada beberapa pendapat. Menurut al-qattan munasabah adalah segi-segi
hubungan antara satu kalimat dengan kalimat-kalimat dlain dalam satu
ayat, antara satu ayat dengan ayat lan dalam banyak ayat atau antara satu
surat dengan surat lain. M. Hasbi ash-shiddiqy membatasi pengertian munasabah
kepada ayat-ayat atau antar ayat saja. Al-Baqhawi membatasi pengertian
munasabah dengan ta’wil. Sedangkan az-Suyuthi merumuskan bahwa yang di maksud
dengan munasabah adalah hubungan yang mencakup antar surat. Oleh karena itu,
munasabah Al-Qur’an dapat diartikan sebagai salah satu ilmu yang membahas
hikmah kolerasi urutan ayat al-quran. Atau dengan lain ungkapan, munasabah
adalah usaha pemikiran manusia dalam mengali rahasia hubungan antar ayat atau
surat yang dapat diterima oleh akal. Dengan demikian diharapkan
bahwa, ilmu ini dapat menyingkap rahasia-rahasia antar ayat maupun surat dalam
Al-Qur’an sekaligus sanggahan-Nya bagi mereka yang meragukan keberadaan
Al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT.
B. MACAM-MACAM
MUNASABAH
Ar-Razi
menggunakan istilah ta’allluq sebagai sinonim dari munasabah
ketika menafsirkan Q.s Huud (11): 16-17. Firman Allah swt. Sebagai berikut:
Artinya :“Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali
neraka dan lengyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia
dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. Apabilam(orang-orang kafir itu
sama dengan) orang-orang yang ada mempunyai bukti yang nyata (Al-quran) dari
tuhannya dan diikuti pula oleh seorang sanksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum
Al-quran itu telah ada kitap Musa yang menjadi pedoman dan rahmat? Mereka itu
beriman kepada Al-quran: Dan barang siapa diantara mereka (orang-orang Quraisy)
dan sekutu-sekutunyayang diamcamkan baginya, karena itu. Sesungguhnya
(Al-Quran) itu benar-benar dari tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak
beriman”.
Menurut
Ar-Razi, bahwa pertalian (ta’alluq) antara ayat ini dengan ayat sebelumnya
sangat jelas. Yaitu apakah orang-orang kafi itu sama dengan orang-orang yang
beriman, yang mempunyai bukti yang nyata dari Tuhannya, sama dengan orang-orang
yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya dan orang-orang itu tidaklah
memperoleh tempat yang baik di akhirat kecuali neraka tempatnya. Sedangkan
Sayyid Quthb menggunakan lafat irtibath sebagai pengganti istilah munasabah. Hal
tersebut di jumpai ketika menafsirkan Q.s al-Baqrah (2): 188. Firman Allah swt.
Sebagai berikut:
Artinya : “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) h, supaya arta itu kepada hakim, kamu dapat memakan sebahagian dari
pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui”.
Menurut
Sayyid Quthb, pertalaian (irtibath) antara bagian ayat tersebut sangat jelas,
yaitu antara bulan baru (ahillah), waktu bagi manusia dan haji serta antara
adat jahiliyah, khususnya dalam masalah haji sebagiamana diisyatkan dalam
bagian ayat kedua atau ayat berikutnya. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
menggunakan dua istilah, yaitu al-isttishal dan al-ta’lil. Hal ini terlihat
dengan jelas ketika menafsirkan Q.s Nisa (4): 30. Firman Allah swt. Sebagai
berikut:
Artinya : “Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak
dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian
itu mudah bagi Allah”.
Manna’ Khali al-Qattan membagi munasabah dalam beberapa bentuk, yaitu:
1. Munasabah terletak
pada perhatiannya terhadap lawan bicara. Seperti firman Allah SWT dalam surat
Al-Ghasyiah : 17-20 :
Artinya :”Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia
diciptakan, Dan langit, bagaimana Ia ditinggikan?, Dan Gunung-gunung, Bagaimana
Ia ditegakkan?, Dan Bumi, Bagaimana Ia dihamparkan?”
Menurut Al-Qattan, penggabungan antara
unta, langit dan gunung-gunung adalah memperhatikan tradisi yang berlaku
dikalangan lawan bicara yang tinggal di padang pasir, dimana kehidupan mereka
sangat tergantung pada unta. Sehingga mereka sangat memperhatikannya.
2. Terjadi antara satu
surat dengan surat yang lain. Misalnya pada pembukaan surat Al-An’am : 1 yang
dimulai dengan kata “Alhamdu”. Firman Allah SWT sebagai
berikut :
Artinya :”Segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan langit dan
bumi…”
Pembukaan surat Al-An’am tersebut
sesuai dengan penutup surat Al-Maidah : 118-119 yang menerangkan keputusan
diantara para hamba Tuhan. Firman Allah SWT,
Artinya :”Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguuhnya mereka adalah
hamba-hamba engkau, dan jika engkau mengampuni mereka, maka
seesungghnya engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah SWT
berfirman :”Ini adalah suatu hari yang bermanfa’at bagi orang-orang yang benar
kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah SWT ridha terhadap mereka, dan
merekaapun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar”.
3. Terdapat munasabah antar awal
surat dengan akhir surat, seperti pada surat Al-Qashas : 17 Allah SWT berfirman
sebagai berikut,
Artinya :”Musa berkata :”Ya Tuhanku, Demi nikmat yang telah Engkau
anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tidak akan menjadi penolong bagi orang
orang yang berdosa”
Ayat ini dimulai dengan menceritakan
Musa, menjelaskan langkah langkah yang dilakukan dan pertolongan yang
diperolehnya. Kemudian menceritakan perlakuannya ketika ia mendapatkan 2 orang
laki-laki sedang berkelahi. Selanjutnya surat ini diakhiri dengan menghibur
Rasulullah SAW, bahwa ia akan keluar dari Mekkah, dan dijanjikan
akan kembali ke Mekkah, serta melarangnya menjadi penolong bagi
orang orang kafir. Seperti pada firman Allah SWT dalam surat Al-Qashas : 85-86,
Artinya :”Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hokum-hukum)
Al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah
:”Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang-orang dalam
kesesatan yang nyata. Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al-Qur’an diturnmkan
kepadamu, tetapi ia (diturunkan) Karena suatu rahmat yang dari Tuhanmu, sebab
itu janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir”
C. TERTIB AYAT DAN SURAT
Dalam konteks sejarah awal kaum muslim,
Teks Al-Qur’an berupa mushaf. Ayat-ayat yang turun dimasa kerasulan
nabi Muhammad SAW antara satu atau beberapa ayat dengan ayat yang lain
diselingi beberapa waktu, dan tidaklah segera dikodifikasikan pada masa itu.
Tetapi, atas perintah Nabi, untuk menghafal dan metulis ayat Al-Qur’an di atas
pelepah-pelepah kurma, batu-batu dan tulang-tulang unta (al-Shabuni, 1985: 53).
Penulisan ini, seperti yang diceritakan Ibnu Ishaq, langsung diharapan Rasul
sendiri (al-Zanjani, 1986: 65). Pada masa khalifah Abu Bakar, dilatarbelakangi
oleh kekhawatiran Umar bin Khatab atas banyaknya para penghafal yang mati
syahid, ayat-ayat yang berserakan tersebut lalu dikumpulkan dan ditulis kembali
hingga menjadi sebuah mushaf al-Qur’an.
Mushaf Al-Qur’an ini terdiri sejumlah
surat dengan nama-nama tersendiri dan juga sejumlah ayat dengan nomor urut
tersendiri. Pembagian Al-Qur’an ke dalam surat dan ayat tentu memiliki makna
yang jelas. Setidaknya di samping menjadi lebih sistematis, akan memudahkan
orang untuk membaca, mempelajari dan menghafalnya Al-Qur’an. Sunnah
mengharuskan orang yang shalat atau khutbah untuk membaca ayat Al-Qur’an yang
tidak boleh kurang dari satu ayat tidaklah menjadi sulit, tetapi malah
sebaliknya akan dapat terpenuhi dengan mudah. Demikian juga dengan keharusan bagi
orang yang belum mampu membaca al-Fatihah dalam shalatnya, maka ia dengan mudah
dapat membaca tujuh ayat lainnya.
Di samping pembagian ke dalam surat dan
ayat, Al-Qur’an juga dibagi dalam bagian-bagian atau juz yang sama yang
keseluruhannya berjumlah 30 juz. Pembagian Al-Qur’an menjadi 30 juz berkaitan
dengan jumlah hari dalam bulan Ramadhan, ketika satu juz Al-Qur’an dibaca
setiap harinya. Tetapi, bagian atau juz Al-Qur’an tampaknya kurang
diperhitungkan untuk menjadi pembicaraan dalam pembahasan ilmu-ilmu al-Qur’an.
Berbeda dengan pembicaraan tentang surat dan ayat, banyak persoalan dan
komentar tentangnya bahkan satu sama lain saling berbeda bahkan bertolak
belakang.
1. Batasan Surat Dan Ayat
Dalam leksikologi Arab, kata surat (jamak: suwar) mengandung banyak arti,
yaitu: bangunan yang menjulang tinggi ke langit, kedudukan/tempat dan
keutamaan. Juga bisa berarti pagar jika terambil dari kata سور .
Seperti yang dikatakan W. Montgomery Watt yang dikutipnya dari CF. Jeffery,
bahwa pandangan umum asal kata ini adalah bahasa Ibrani “surah”, yang
berarti suatu deretan bekas batu bata di dinding dan bekas pepohonan anggur.
(Watt, 1991: 90). Dari makna ini surat disimpulkan menjadi “serangkaian
bagian” atau “bab” (Inggris: chapter).
Pada sisi terminologis, Al-Zarkasyi misalnya menjelaskan
pengertian surat dengan “sekelompok ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai
permulaan dan penutup”. Al-Zarqani memberikan sedikit tambahan bahwa“sekelompok
ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai permulaan dan akhir itu adalah berdiri
sendiri”. Tetapi, meskipun sekelompok ayat dimaksud berdiri sendiri, namun
satu sama lain dipercaya berhubungan erat saling melengkapi, sehingga ada yang
mengatakan bahwa surat Al-Fatihah adalah pengantar surat Al-Baqarah, dan surat
Al-Baqarah adalah pengantar surat Al-Nisa’ dan seterusnya.
Batasan surat yang dikemukakan oleh pakar-pakar ilmu Al-Qur’an sebagai
sekelompok ayat-ayat tampaknya cukup beralasan. Karena Al-Qur’an sendiri
tampaknya menghendaki pengertian demikian. Al-Qur’an menggunakan kata surat
dalam ungkapannya sebanyak 7 kali dalam bentuk mufrad yang tersebar 3 surat,
yaitu surat al-Tawbah: 64, 86, dan 124, surat al-Nur: 1 dan surat Muhammad: 20
dengan dua kali penyebutan. Sedang bentuk jamaknya hanya satu kali digunakan
Al-Qur’an dalam surat Hud: 13. Penggunaan kata surat adalah dalam pengertian
yang sama yakni merujuk pada sekumpulan ayat-ayat Al-Qur’an.
Surat-surat Al-Qur’an antara satu sama lainnya, baik dalam mushaf yang
ditulis tangan maupun cetak, dipisahkan dengan sebuah muqaddimah yang
diletakkan di awal surat. Dalam muqaddimah ini, biasanya pertama-tama
disebutkan nama surat, kemudian pernyataan tentang penanggalannya, yakni
diskripsi sederhana tentang surat tersebut apakah sebagai surat Makiyah atau
Madaniyah , dan diakhiri dengan catatan tentang jumlah ayat. Muqaddimah ini
seperti yang dikatakan Watt hanya perlengkapan keserjanaan belaka (Watt, 1991:
93). Setelah muqaddimah disusul dengan basmalah (بسم
الله الرحمن الرحيم) pada
setiap surat. Pengecualian penggunanaan frase tersebut hanya pada surat 9.
Penulisan Basmalah pada setiap surat tentu tak dapat dipandang sebagai hasil
penyuntingan yang belakangan, tetapi merupakan bentuk asli yang datang dari
nabi Muhammad SAW. Hal ini cukup beralasan karena pada surat 27 atau surat
Al-Naml ayat 30 dimana Sulaiman mengirim sepucuk surat kepada Ratu Balqis,
ungkapan Basmalah mengawali suratnya seakan-akan kepala yang memadai untuk
sebuah dokumen yang berasal dari seorang nabi.
Panjang pendek surat-surat Al-Qur’an sangat beragam, tetapi dalam
susunannya setelah surat al-Fatihah (pembukaan) surat-surat Al-Qur’an dimulai
dengan surat yang sangat panjang dengan ayat-ayat yang panjang, kemudian
semakin lama semakin pendek dengan ayat-ayat yang pendek pula. Surat Al-Baqarah
yang terletak sesudah surat Al-Fatihah merupakan surat yang terpanjang dengan
jumlah ayat sebanyak 286 ayat atau lebih dari dua juz, sedangkan surat
terpendek surat Al-Kautsar dengan 3 ayat yang pendek-pendek. Walaupun surat
Al-Kautsar ini adalah surat yang terpendek dengan ayat-ayatnya yang pendek
namun tidaklah terletak pada penghujung atau penutup surat-surat Al-Qur’an,
tetapi menempati nomor urut 108 dari 114 surat semuanya. Sementara itu, kata
ayat yang juga digunakan oleh Al-Qur’an beberapa kali merujuk pada makna yang
berbeda-beda. Di antara makna-makna etimologis ayat tersebut adalah: tanda (QS.
al-Hijr: 77; Al-Nahl: 11, 13, 65, 67, dan 69; Al-Baqarah, 248); mukjizat (QS.
Al-Baqarah: 211); ibrah atau pelajaran (QS. Hud: 102, 103 dan Al-Furqan: 37);
sesuatu yang menakjubkan (QS. Al-Mukmin: 50); bukti atau dalil (QS. Al-Rum: 20,
21, 23, dan 24). Akan tetapi, secara terminologis para ulama memberi batasan
ayat dengan sekelompok kata yang mempunyai permulaan dan akhir yang berada
dalam suatu surat Al-Qur’an (al-Zarqani, 1988: I, 350). Batasan ini didukung
oleh Al-Qur’an sendiri yang mengungkapkan ayat dengan pengertian tersebut
sehingga makna etimologis tetap relevans dengan pengertian terminologis. Salah
satunya adalah dalam surat Yusuf ayat 1:
الر تلك ءايات الكتاب المبين
Alif lam ra. Ini adalah ayat-ayat kitab (al-Qur’an) yang nyata (dari Allah)
Seperti halnya surat, panjang pendek ayat juga sangat beragam. Dalam beberapa surat, pada umumnya surat-surat panjang, ayat-ayat pun yang panjang dan menggugah. Sedangkan dalam surat-surat pendek yang terletak di bagian akhir Al-Qur’an, surat-suratnya pun pendek, padat dan mengena. Namun kenyataan seperti itu bukanlah aturan yang mutlak. Sebab, surat 98 atau surat Al-Baiyinah berisi 6 ayat panjang untuk ukuran surat-surat yang bersamanya. Demikian pula pada surat 26 atau surat Al-Syu’ara yang tergolong surat yang panjang berisi lebih dari 100 ayat yang pendek-pendek. Pada ayat-ayat yang panjang yang terdapat dalam surat yang panjang, bentuk ungkapannya sangat beragam, tak dapat ditentukan matra yang baku, baik pada suku-suku kata atau pada tekanan. Pada umumnya akhiran-akhiran dari ayat tersebut adalah bunyi yang dibentuk dengan akhiran kata benda dan kata kerja berbentuk jamak, -un dan –in, diselang-seling dengan kata bentukan yang secara teknis disebut fail, salah satu bentuk yang paling umum di dalam bahsa Arab. Sebagai contoh تعقلون، يتفكرمن dan ظالمون، كافرون. Dan inilah bentuk yang umum dan paling banyak digunakan. Tetapi juga terkadang dengan akhiran vokal panjang a. Sedangkan pada ayat-ayat yang pendek-pendek memiliki irama dan ritma yang juga sangat bervariasi. Terkadang semua atau sebagian besar ayat-ayatnya berakhiran ud, ha dan lain-lain.
Alif lam ra. Ini adalah ayat-ayat kitab (al-Qur’an) yang nyata (dari Allah)
Seperti halnya surat, panjang pendek ayat juga sangat beragam. Dalam beberapa surat, pada umumnya surat-surat panjang, ayat-ayat pun yang panjang dan menggugah. Sedangkan dalam surat-surat pendek yang terletak di bagian akhir Al-Qur’an, surat-suratnya pun pendek, padat dan mengena. Namun kenyataan seperti itu bukanlah aturan yang mutlak. Sebab, surat 98 atau surat Al-Baiyinah berisi 6 ayat panjang untuk ukuran surat-surat yang bersamanya. Demikian pula pada surat 26 atau surat Al-Syu’ara yang tergolong surat yang panjang berisi lebih dari 100 ayat yang pendek-pendek. Pada ayat-ayat yang panjang yang terdapat dalam surat yang panjang, bentuk ungkapannya sangat beragam, tak dapat ditentukan matra yang baku, baik pada suku-suku kata atau pada tekanan. Pada umumnya akhiran-akhiran dari ayat tersebut adalah bunyi yang dibentuk dengan akhiran kata benda dan kata kerja berbentuk jamak, -un dan –in, diselang-seling dengan kata bentukan yang secara teknis disebut fail, salah satu bentuk yang paling umum di dalam bahsa Arab. Sebagai contoh تعقلون، يتفكرمن dan ظالمون، كافرون. Dan inilah bentuk yang umum dan paling banyak digunakan. Tetapi juga terkadang dengan akhiran vokal panjang a. Sedangkan pada ayat-ayat yang pendek-pendek memiliki irama dan ritma yang juga sangat bervariasi. Terkadang semua atau sebagian besar ayat-ayatnya berakhiran ud, ha dan lain-lain.
2. Penamaan Surat
Surat-surat Al-Qur’an memiliki nama-nama tersendiri. Sebuah surat boleh
jadi mempunyai satu atau beberapa nama. Surat al-Taubah misalnya, disebut juga
dengan surat Al-Bara’ah, dan Al-Buhus. Surat Al-Insan dinamai pula dengan surat
Al-Dahr, dan lain-lain. Tetapi, nama-nama surat tersebut tidaklah menunjukan
judul atau tema pokok dari surat-surat tersebut, meskipun tak dapat dipungkiri
bahwa setiap surat mempunyai tema,tetapi hanya dijadikan sebagai alat metode
identifikasi. Nama-nama surat ini diambil dari kata yang mencolok atau tidak
lazim di dalamnya. Biasanya kata ini muncul hampir di awal surat, tetapi tidak
demikian selamanya. Surat 16 misalnya, diberi nama dengan surat Al-Nahl (lebah)
tetapi tidak disebutkan di dalamnya hingga pada ayat 68 lebih separuh dari
surat tersebut; bahkan ayat ini (16: 68) merupakan satu-satunya bagian dari
al-Qur’an yang berbicara tentang al-Nahl. Senada dengan ini, surat 26 diberi
nama dengan Al-Syu’ara, kata yang disebutkan Al-Qur’an di dalam ayat 224 surat
tersebut dan merupakan bagian paling akhir dari surat tersebut. Jelas sekali
bahwa nama-nama surat ini tidak berasal dari al-Qur’an, tetapi diperkenalkan
oleh para-pakar al-Qur’an. Tampaknya tidak ada aturan yang umum dalam pemilihan
nama-nama surat tersebut. Orang-orang menggunakan kata apa saja yang paling
menonjol dalam suatu surat. Sebagian ulama mengasumsikan bahwa nama-nama surat
Al-Qur’an ini adalah petunjuk Rasul (tawqifi). (petunjuk Rasul). Sedangkan sebagian
lagi percaya bahwa penamaan surat tersebut berdasarkan jitihad sahabat yang
diambil dari pokok pembicaraan dalam surat itu. (Ismail, tt: 66). Tetapi,
tampaknya yang lebih masuk akal adalah bahwa Nabi sangat berperan dalam
mensosialisasikan nama-nama surat. Tidak mungkin Nabi saw sebagai transmiter
dan penerjemah Al-Qur’an untuk para sahabat tidak memiliki nama-nama surat
sebagai alat identifikasi. Yang jelas sejak masa yang paling awal Nabi dan
sahabat-sahabat telah mengetahui dan mempopulerkan nama-nama surat al-Qur’an.
Di samping nama-nama yang secara sah diberikan kepada surat-surat Al-Qur’an
untuk kepentingan identifikasi, juga diberi nama-nama kelompok untuk surat
Al-Qur’an, baik yang terkait dengan periode kerasulan Muhammad seperti surat
Makiyah dan surat Madaniyah, ataupun panjang pendeknya surat-surat Al-Qur’an
tersebut. Pengelompokan surat-surat Al-Qur’an yang terkait dengan periode
kerasulan dimaksudkan untuk kepentingan kronologis turunnya surat atau ayat
untuk kepentingan penafsiran Al-Qur’an, seperti yang akan dijelaskan
selanjutnya. Sementara penamaan surat-surat yang berdasarkan panjang pendeknya
surat tampaknya hanya untuk identifikasi dalam kerangka yang lebih luas.
Al-thiwal, misalnya adalah surat-surat yang dikenal dengan tujuh surat yang
panjang yang terdapat pada permulaan mushaf, yaitu surat 2 – 8 (surat
al-Baqarah, Ali Imran, al-Maidah, al-Nisa’, al-An’am, al-A’raf dan al-Anfal).
Al-mi’un adalah nama yang diberikan kepada surat-surat yang ayatnya seratus
atau lebih sedikit. Al-matsani, dikenal sebagai surat-surat yang jumlah ayatnya
yang tidak mencapai 100 ayat. Sedangkan Al-Mufashshal adalah surat-surat yang
lebih pendek. Disebut dengan mufashshal karena banyak fashal (pemisah) di
antara surat-surat tersebut dengan basmalah (al-Zarqani, 1988 : I, 352).
3. Jumlah Surat Dan Ayat
Tampaknya tidak banyak pendapat yang bermunculan tentang jumlah surat
al-Qur’an di banding dengan pendapat tentang jumlah ayat Al-Qur’an. Hal ini
mungkin disebabkan karena pada setiap surat dipisahkan dengan Basmalah yang
menjadi bagian awal setiap surat (Abu Syuhbah, 1996: 276). Sedangkan dalam
menentukan jumlah ayat terdapat peluang berbeda pendapat yang bertolak dari
penentuan Basmalah sebagai ayat dari setiap surat dan fashilah serta ra’s
al-ayat seperti yang akan dikemukakan berikutnya.
Pendapat yang paling umum diterima, jumlah surat Al-Qur’an seperti dalam
mushaf Usman adalah 114 surat. Tetapi pendapat yang diterima dari Mujahid surat
al-Qur’an adalah 113 surat dengan menggabungkan surat Al-Anfal dengan surat
Al-Taubah menjadi satu surat. Hasan, ketika ditanya apakah surat Al-Bara’ah dan
surat Al-Anfal itu satu surat atau dua surat, menjawab “satu surat”. Ibnu
Mas’ud dalam mushafnya terdapat 112 surat. Ini karena ia tidak memasukan dua
surat terakhir (mu’awidzatani) (al-Sayuthi, t.t: 67; Abu Syuhbah, 1996: 288)
yang oleh Montgomery Watt dikatakan sebagai jimat-jimat pendek (Watt, 1991:
91). Sementara sebagian di antara ulama Syi’ah menetapkan bahwa jumlah surat
Al-Qur’an 116. Hal ini karena mereka memasukan surat qunut yang dinamai surat
al-khaf dan al-hafd yang oleh ditulis oleh Ubay di kulit al-Qur’an.
(Ash-Shiddieqy, 1984: 58).
Mengenai jumlah ayat, secara umum dapat dinyatakan bahwa para ulama
menghitungnya tidak kurang dari 6200 ayat. Tetapi, secara rinci mereka berbeda
pendapat. Orang-orang Madinah menyuguhkan dua pendapat. Pendapat pertama
mengatakan bahwa seluruh ayat Al-Qur’an berjumlah 6217 ayat. Sedangkan pendapat
yang kedua menyatakan bahwa seluruhnya berjumlah 6214 ayat. Orang-orang Mekah
menghitung ayat Al-Qur’an secara keseluruhan sebanyak 6220 ayat. Sedang
orang-orang Kufah menyatakan 6226 ayat dan orang-orang Basrah menyatakan jumlah
ayat Al-Qur’an seluruhnya adalah 6205 ayat. Sementara pendapat yang beredar di
masyarakat awam bahwa ayat Al-Qur’an seluruhnya berjumlah 6666 ayat tampaknya
kurang dapat diterima. Angka ini barangkali lebih bernuansa mitos atau keramat
dibanding dengan realita konkrit.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, bahwa perbedaan penetapan basmalah
sebagai ayat dari surat-surat Al-Qur’an atau tidak menyebabkan ulama berbeda
pendapat dalam menentukan jumlah ayat Al-Qur’an. Seperti yang dinyatakan oleh
Hamka, ada dua pendapat tentang basmalah ini. Sebagian besar sahabat dan ulama
salaf berpendapat bahwa basmalah adalah ayat pertama dari setiap surat. Dari
golongan sahabat yang berpendapat demikian antara lain: Ibnu Abbas, Ali bin Abi
Thalib, Abdullah ibn Umar dan Abu Hurairah. Sedangkan dari golongan ulama salaf
antara lain: Ibnu Katsir, al-Kasa’i, al-Syafi’i, al-Tsauri dan Ahmad. Sedangkan
sebagian lagi menyatakan bahwa basmalah bukan ayat pertama dari setiap surat,
tetapi hanya sebagai pemisah antara satu surat dengan surat lainnya. Di antara
mereka yang berpendapat seperti ini adalah Imam Malik dan al-Auza’i. (Hamka, 1982:
74).
Di samping itu, serta penentuan fashilah dan ra’s al-ayat juga menjadi sebab perbedaan pendapat ulama dalam menghitung jumlah ayat. Fashilah adalah istilah yang diberikan kepada kalimat yang mengakhiri ayat dan merupakan akhir ayat. Sedangkan ra’s al-ayat adalah akhir ayat yang padanya diletakkan tanda fashal (pemisah) antara ayat yang satu dengan ayat yang lain. Fashilah ini terkadang berupa ra’s al-ayat dan terkadang tidak. Dengan demikian, setiap ra’s al-ayat adalah fashilah dan tidak setiap fashilah adalah ra’s al-ayat (Manna’ al-Qaththan, tt: 153). Fashilah dan ra’s al-ayat ini mungkin mirip dengan sajak, seperti yang dikenal dalam ilmu Badi’ (stalistik). Tetapi ulama tidak menggunakan istilah sajak karena al-Qur’an bukan karya sastrawan atau ungkapan para nabi, tetapi adalah wahyu Allah yang tentu lebih tinggi kedudukannya dibanding sajak. Di samping itu, fashilah yang dimaksud dalam al-Qur’an adalah meruntutkan makna dan bukan fashilah itu sendiri yang dimaksud. Sementara sajak, maka sajak itu sendiri yang dimaksudkan (dalam suatu perkataan) dan baru kemudian arti perkataan itu dialihkan kepadanya, sebab hakikat sajak ialah menguntai kalimat dalam satu irama.
Di samping itu, serta penentuan fashilah dan ra’s al-ayat juga menjadi sebab perbedaan pendapat ulama dalam menghitung jumlah ayat. Fashilah adalah istilah yang diberikan kepada kalimat yang mengakhiri ayat dan merupakan akhir ayat. Sedangkan ra’s al-ayat adalah akhir ayat yang padanya diletakkan tanda fashal (pemisah) antara ayat yang satu dengan ayat yang lain. Fashilah ini terkadang berupa ra’s al-ayat dan terkadang tidak. Dengan demikian, setiap ra’s al-ayat adalah fashilah dan tidak setiap fashilah adalah ra’s al-ayat (Manna’ al-Qaththan, tt: 153). Fashilah dan ra’s al-ayat ini mungkin mirip dengan sajak, seperti yang dikenal dalam ilmu Badi’ (stalistik). Tetapi ulama tidak menggunakan istilah sajak karena al-Qur’an bukan karya sastrawan atau ungkapan para nabi, tetapi adalah wahyu Allah yang tentu lebih tinggi kedudukannya dibanding sajak. Di samping itu, fashilah yang dimaksud dalam al-Qur’an adalah meruntutkan makna dan bukan fashilah itu sendiri yang dimaksud. Sementara sajak, maka sajak itu sendiri yang dimaksudkan (dalam suatu perkataan) dan baru kemudian arti perkataan itu dialihkan kepadanya, sebab hakikat sajak ialah menguntai kalimat dalam satu irama.
4. Susunan Surat Dan Ayat
Para ulama berbeda pendapat tentang susunan surat-surat Al-Qur’an. Ada tiga
pendapat yang muncul tetang persoalan ini :
1. Susunan surat-surat
al-Qur’an seluruhnya berdasarkan petunjuk Rasul (tawqifi).
Pendapat ini didukung oleh ulama-ulama seperti Abu Ja’far bin Nuhas, Ibnu
al-Hasr dan Abu Bakar al-Anbari (Abu Syuhbah, 1996: 293). Alasan yang mendukung
pendapat ini adalah riwayat Abu Syaibah bahwa Nabi pernah membaca beberapa
surat al-mufashshal dalam satu rakaat menurut susunan mushaf al-Qur’an. Di samping
itu juga pernyataan Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwa ia
pernah menyebutkan surat Makiyah, surat Bani Israil, al-Kahfi, Maryam, Thaha
dan Al-Anbiya’ yang pertama kali ia pelajari secara beruntut seperti urutan
sekarang ini (Manna’ Qathahan, tt: 141). Al-Zarqani menambahkan alasan golongan
ini dengan mengatakan bahwa para sahabat telah sepakat terhadap mushaf Usman
dan tidak ada seorang pun dari sahabat yang berkeberatan atau menyangkalnya.
Kesepakatan ini tak terjadi kecuali karena pengumpulan ini sifatnya tawqifi.
Sebab bila seandainya berdasarkan ijtihad maka para sahabat tentu akan
berpegang teguh pada pendapat mereka yang berlainan. (al-Zarqani, 1988: I,
355).
2. Kedua, susunan
surat-surat Al-Qur’an adalah ijtihad para sahabat
Pendapat ini dinisbahkan kepada Imam Malik (Muhammad Bakar Al- Ismail, tt:
67). Dan Al-Zarqani menyebut bahwa pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama
dan termasuk di dalamnya seperti Al-Qadhi dan Abu Bakar (Al-Zarqani, 1988: I,
355), Argumen pendapat ini adalah adanya beberapa mushaf pribadi beberapa orang
sahabat yang sistematika surat tersebut saling berbeda satu sama lain. Mushaf
Ibnu Mas’ud misalnya, dimulai dengan surat Al-Fatihah, Al-Baqarah, Al-Nisa’,
Ali Imran dan seterusnya. Demikian juga dengan mushaf Ubay. Mushaf Ali disusun
berdasarkan urutan turunnya ayat, karenanya dimulai dengan surat Al-Alaq,
kemudian Al-Mudaststir, Nun, Qalam dan seterusnya(Manna al-Qattan, tt: 142).
Ketika Usman ditanya oleh para sahabat, kenapa ia mengambil kebijaksanaan untuk menggabungkan surat Al-Anfal dengan surat Al-Bara’ah menjadi satu dengan tidak meletakkan Basmalah di antara kedua surat tersebut, ia menjawab bahwa itu hanya perkiraannya karena kisah yang terdapat dalam surat Al-Anfal serupa dengan kisah dalam surat Al-Bara’ah. Dan Rasulullah sampai akhir hayatnya tidak menjelaskan bahwa surat Al-Bara’ah merupakan bagian dari surat Al-Anfal (al-Zarqani,1988: I, 354).
Ketika Usman ditanya oleh para sahabat, kenapa ia mengambil kebijaksanaan untuk menggabungkan surat Al-Anfal dengan surat Al-Bara’ah menjadi satu dengan tidak meletakkan Basmalah di antara kedua surat tersebut, ia menjawab bahwa itu hanya perkiraannya karena kisah yang terdapat dalam surat Al-Anfal serupa dengan kisah dalam surat Al-Bara’ah. Dan Rasulullah sampai akhir hayatnya tidak menjelaskan bahwa surat Al-Bara’ah merupakan bagian dari surat Al-Anfal (al-Zarqani,1988: I, 354).
3. Ketiga, susunan
surat-surat al-Qur’an sebagian bersifat tawqifi dan sebagian lagi adalah
ijtihad sahabat.
Pendapat ketiga ini beralasan dengan adanya beberapa hadis yang menunjukkan
bahwa sebagian surat-surat Al-Qur’an tertibnya berdasarkan petunjuk Rasul dan
juga pada sisi lain terdapatnya beberapa mushaf sahabat yang susunan
surat-suratnya berlainan. Abu Muhammad Ibnu Athiyah mengatakan bahwa sebagian
besar surat-surat Al-Qur’an diketahui susunannya pada masa nabi seperti
al-Sab’u al-Thiwal dan Mufasshal, sedangkan sebagian lain adalah berdasarkan
ijtihad para sahabat nabi (al-Zarqani, 1988: I, 357).
Dari ketiga pendapat di atas Manna’ al-Qaththan cenderung pada pendapat
yang pertama, karena menurutnya pendapat ini lebih kuat dari pendapat lainnya.
Terhadap argumen pendapat kedua ia mengatakan bahwa adanya beberapa mushaf
pribadi sebagian sahabat yang berbeda itu merupakan hasil ikhtiar mereka
sendiri sebelum Al-Qur’an dikumpulkan (Manna’ al-Qaththan, tt: 144).
Tetapi penulis secara pribadi cenderung pada pendapat al-Baihaqi yang juga
diikuti oleh al-Sayuthi (t.t: 65) yang mengatakan bahwa susunan surat Al-Qur’an
pada dasarnya adalah tawqifi, hanya surat Al-Anfal dan Al-Bara’ah yang hanya
ijtihad para sahabat. Hal ini karena secara jelas terlihat adanya ijtihad Usman
seperti yang disebutkan dalam hadis di atas. Di samping itu Al-Qur’an
sebelumnya telah turun ke Lauh Mahfudzh dan telah berupa kitab yang tentunya
tersusun secara sistematis. Namun demikian, terlepas dari perbedaan tertib
surat tersebut, sistematika surat tidaklah mengindikasikan suatu kemestian dan
keharusan orang membaca dan mempelajari sesuai dengan susunan surat tersebut.
Adapun tertib ayat Al-Qur’an oleh ulama seperti yang dikatakan al-Sayuthi,
disepakati urutannya berdasarkan tawqifi dari Rasul. Karena setiap kali turun
ayat nabi selalu memberikan petunjuk supaya meletakkan ayat tersebut pada
tempat tertentu atau pada surat yang di dalamnya disebutkan seperti ini. Usman
bin Abi al-Ash mengatakan: “Saya duduk di samping Rasul, tiba-tiba
pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula kemudian memerintahkan
aku meletakan ayat ini di tempat ini surat ini”. Ibnu Zubair berkata,
aku mengatakan kepada Usman bahwa ayat 23 surat al-Baqarah telah dimansukhkan
oleh ayat lain, tetapi mengapa anda menuliskannya atau membiarkannya
dituliskan. Beliau menjawab:“Kemenakanku, aku tidak mengubah sesuatu pun
dari tempatnya”. Di samping itu diriwayatkan pula bahwa Jibril
senantiasa mengulangi dan memeriksa al-Qur’an yang telah disampaikannya kepada
Muhammad setiap tahun pada bulan Ramadhan, bahkan sampai dua kali pada
tahun-tahun terakhir hidup Muhammad saw. Pengulangan Jibril terkahir ini adalah
seperti susunan surat-surat al-Qur’an yang dikenal sekarang.
Baik surat-surat maupun ayat-ayat, selalu mempunyai korelasi (munasabah).
Penjelasan tentang korelasi surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an biasanya dapat
dilihat dalam kitab-kitab tafsir.
5. Surat / Ayat Makiyyah
Dan Madaniyyah
Dapat ditegaskan bahwa surat atau ayat Makiyyah adalah surat atau ayat yang
diturunkan sebelum Hijrah, meskipun ayat atau surat tersebut turun di luar
Mekah, termasuk dalam kategori ini adalah ayat yang turun dalam perjalanan
Hijrah. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah adalah ayat-ayat diturunkan setelah
Hijrah, meskipun turunnya di luar Madinah, termasuk dalam kategori ini adalah
ayat-ayat yang turun dalam perjalanan dari Hudaibiyah (Abu Syuhbah, 1992, 198).
Pada mushaf Usman istilah Makiyyah dan Madaniyyah lebih ditujukan kepada surat-surat al-Qur’an, bukan ayat-ayatnya, meskipun sebenarnya yang menjadikannya surat Makiyyah dan Madaniyyah adalah ayat-ayatnya. Identifikasi yang lebih ditujukan kepada surat-surat dan bukan kepada ayat-ayat dapat diterima dan tampaknya cukup relevan untuk surat-surat pendek yang terdiri dari 3 sampai 10 ayat. Tetapi untuk surat-surat yang panjang tampaknya tidak dapat digeneralisir, karena dalam surat Makiyyah boleh jadi terdapat ayat-ayat Madaniyyah. Dalam surat al-An’am misalnya, yang diidentifikasi sebagai surat Makiyyah terdapat ayat Madaniyyah yang menurut keterangan Ibnu Abbas adalah ayat 151-153. (Manna’ al-Qaththan, t.t: 155).
Kajian kronologis ayat juga menarik perhatian para orientalis semisal Theodor Noldeke, Friedrich Schwally, dan lain-lain hingga menjadi bahan kajian serius. Tetapi, menurut Watt, terdapat perbedaan pijakan utama untuk penanggalan ayat-ayat Al-Qur’an oleh mereka dengan para sarjana muslim.
Pada mushaf Usman istilah Makiyyah dan Madaniyyah lebih ditujukan kepada surat-surat al-Qur’an, bukan ayat-ayatnya, meskipun sebenarnya yang menjadikannya surat Makiyyah dan Madaniyyah adalah ayat-ayatnya. Identifikasi yang lebih ditujukan kepada surat-surat dan bukan kepada ayat-ayat dapat diterima dan tampaknya cukup relevan untuk surat-surat pendek yang terdiri dari 3 sampai 10 ayat. Tetapi untuk surat-surat yang panjang tampaknya tidak dapat digeneralisir, karena dalam surat Makiyyah boleh jadi terdapat ayat-ayat Madaniyyah. Dalam surat al-An’am misalnya, yang diidentifikasi sebagai surat Makiyyah terdapat ayat Madaniyyah yang menurut keterangan Ibnu Abbas adalah ayat 151-153. (Manna’ al-Qaththan, t.t: 155).
Kajian kronologis ayat juga menarik perhatian para orientalis semisal Theodor Noldeke, Friedrich Schwally, dan lain-lain hingga menjadi bahan kajian serius. Tetapi, menurut Watt, terdapat perbedaan pijakan utama untuk penanggalan ayat-ayat Al-Qur’an oleh mereka dengan para sarjana muslim.
6. Huruf-Huruf
Muqaththa’ah
Satu hal yang menjadi ciri khas al-Qur’an adalah adanya huruf-huruf
muqaththa’ah (huruf-huruf yang terpisah) yang memulai suatu surat (fawatih
al-suwar). Dalam al-Qur’an terdapat 29 surat yang menggunakan huruf-huruf
tersebut sebagai pembuka surat. Huruf-huruf ini hanya muncul sekali secara
tunggal, namun huruf-huruf ini juga muncul bersama dengan huruf lain sebagai
pembuka surat yang lain. Dari 29 huruf hijaiyah, hanya 14 huruf yang digunakan
sebagai pembuka surat, yaitu: ا ج ر ع س ص ط ق ك ل م ن
هـ ي dalam 29 surat. Dari 14
huruf ini 3 huruf yang berdiri sendiri sebagai pembuka surat, yakni ص pada
surat Shad, ق pada surat Qaf dan ن pada surat al-Qalam Sedang selebihnya
merupakan kombinasi dari beberapa huruf
Sebagian orang percaya bahwa huruf-huruf tersebut merupakan simbol rahasia
antara si pembicara dengan si pendengar, yaitu Tuhan dan Nabi saw, sebagai
suatu yang berada di luar pemahaman orang awam. Contoh ini dapat dilihat pada
kode-kode yang disusun antara dua orang yang tidak ingin orang lain mengetahui
masalah apa yang mereka bicarakan. Pendapat lain mengatakan bahwa huruf ini
adalah nama dari surat-surat yang bersangkutan. Ada juga yang menyatakan bahwa
huruf-huruf tersebut merupakan sumpah yang diucapkan atas nama huruf-huruf
pendek sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an nama wujud lain dari ciptaan Tuhan
seperti matahari, bulan, bintang, malam, siang dan lain-lain sebagainya
(Muthahari, 1992: 42). Orientalis seperti Hirschfeld, dalam keputusasannya, mencoba
menemukan makna huruf-huruf ini. Ia memandang bahwa huruf-huruf tersebut
sebagai singkatan dari nama-nama sahabat. Huruf ص adalah singkatan dari nama Hafsah,ك dari nama
Abu Bakar, dan م dari Usman. Tetapi, seperti yang dikatakan Watt bahwa
penjelasan seperti ini menjadi lebih pelik Sebab untuk surat dua dan tiga yang
dimulai dengan huruf dikatakan Hirschfeld sebagai singkatan dari nama
al-Mughirah sebagai orang yang mengumpulkannya, dan kenapa pengumpulannya
bergantung hanya pada satu orang (Watt: 98). Tampaknya dari berbagai penafsiran
terhadap huruf-huruf ini tak ada yang memuaskan dan tak mempunyai alasan yang
cukup kuat. Karena itu penulis menyatakan bahwa huruf-huruf ini tampaknya tetap
menjadi huruf-huruf misterius.
D. URGENSI MEMPELAJARI
MUNASABAH AL-QUR’AN
Secara global, ada 2 kegunaan yang paling mendasar dalam mempelajari
Munasabah sebagai salah satu metode dalam memahami Al-Qur’an.
1. Dari sisi balaghah, korelasi
antara ayat dengan ayat yang mejadikan keutuhan dan keindahan dalam tata bahasa
Al-Qur’an dan apabila dipenggal, maka keserasian, kehalusan dan keindahan ayat
akan hilang. Menurut Ar-Razi, kebanyakan kehalusan dan keindahan Al-Qur’an
dibuang begitu saja, yakni dalam tertib, hubungan dan susunannya (Munasabah)
2. Memudahkan seseorang
dalam memahami makna ayat atau surat. Sebab penafsiran Al-Qur’an dengan
berbagai ragam, jelas membutuhkan pemahaman tentang korelasi (Munasabah) antara
satu ayat dengan ayat lainnya. Berakibat fatal apabila penafsiran terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an dipenggal-penggal, dan akan menghilangkan keutuhan
maknanya.
Menurut Az-Zarkasyi urgensi mempelajari munasabah adalah unutk
menjadikannya sebagai pembicaraan berkaitan dengan sebagian yang lainnya.
Sehingga hubungannya menjadi kuat, bentuk susunannya menjadi kokoh dan
kesesuaian bagian-bagiannya laksana sebuah bangunan yang amat kokoh.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Munasabah menurut bahasa atau etimologi
(loghawiyah) berarti kedekatan “si abu munasabah dengan si fulan”
berarti ia mendekati dan menyerupai si fulan. (al-qattan, 1994: 137) sedangkan
menurut istilah ada beberapa pendapat. Munasabah Al-Qur’an dapat diartikan
sebagai salah satu ilmu yang membahas hikmah kolerasi urutan ayat al-quran.
Atau dengan lain ungkapan, munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam
mengali rahasia hubungan antar ayat atau surat yang dapat diterima oleh
akal. Dengan demikian diharapkan bahwa, ilmu ini dapat menyingkap
rahasia-rahasia antar ayat maupun surat dalam Al-Qur’an sekaligus sanggahan-Nya
bagi mereka yang meragukan keberadaan Al-Quran sebagai wahyu Allah SWT.
Manna’ Khali al-Qattan membagi munasabah dalam beberapa bentuk, yaitu:
1. Munasabah terletak
pada perhatiannya terhadap lawan bicara
2. Terjadi antara satu
surat dengan surat yang lain
3. Terdapat munasabah
antar awal surat dengan akhir surat
Dalam tertib ayat dan surat terdapat beberapa seperti yang telah penulis
sajikan dalam bab pembahasan, yaitu
1. Batasan Surat Dan Ayat
2. Penamaan Surat
3. Jumlah Surat Dan Ayat
4. Surat / Ayat Makiyyah
Dan Madaniyyah
5. Huruf-Huruf
Muqaththa’ah
Secara global, ada 2 kegunaan yang paling mendasar dalam mempelajari
munasabah sebagai salah satu metode dalam memahami Al-Qur’an. Pertama dari
sisi balaghah,korelasi antara ayat dengan ayat yang mejadikan
keutuhan dan keindahan dalam tata bahasa Al-Qur’an dan apabila dipenggal, maka
keserasian, kehalusan dan keindahan ayat akan hilang. Kedua memudahkan
seseorang dalam memahami makna ayat atau surat
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan. 2004. Ulumul Quran . Pustaka Setia.
Bandung
http://abycinta.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar